Kerusakan Lingkungan Picu Banjir Besar Sumbar

By admin 10 Apr 2017, 08:48:19 WIB Lingkungan

Keterangan Gambar : Ini bukan danau, tapi puluhan hektar areal petanian masyarakat yang berubah jadi danau karena terendam banjir besar di Nagari Siguntur, Kabupaten Dharmasraya. Masyarkat menangung rugi besar karena padi sawah siap panen dihanyutukan banjir. B


PADANG, HALUAN-Bencana  banjir bersar  yang menerjang  sejumlah daerah  di Sumbar, tidak semata disebabkan oleh tingginya  intensitas curah  hujan namun  juga dipicu oleh kerusakan  lingkungan. Seperti di Kabupaten Solok Selatan yang direndam banjir dan longsor itu, terdapat 22 Izin Usaha Pertambangan. Belum  lagi aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (peti).

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar menegaskan, kerusakan lingkungan menjadi faktor penyebab meningkatnya ancaman bencana ekologis di Sumatera Barat. "Bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor yang melanda 7 kabupaten kota di Sumatera Barat dua hari terakhir terjadi tidak hanya disebabkan oleh faktor iklim dimana turunnya hujan dengan intensitas tinggi , tapi juga dipicu oleh kerusakan lingkungan,"  jelas  Direktur Eksektif Daerah  Walhi  Sumbar, Uslaini  kepada haluan, tadi malam.

Sedangkan  faktor utama penyebab kerusakan lingkungan di Sumatera Barat,  kata Uslaini,  adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Baca Lainnya :

Mengutip data  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dikeluarkan Maret 2015, di Sumbar terdapat 262 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang 188 IUP berstatus operasi produksi dengan komoditas emas, timah hitam, galena, bijih besi, tembaga, mangan, batu kapur, kalsit dan batu bara. Aktivitas pertambangan terbuka ini pasti memberi dampak besar bagi lingkungan karena berkurangnya daerah tangkapan air, meningkatnya laju aliran permukaan dan meningkatnya erosi lahan sehingga merusak daerah aliran sungai.  Hal  itu  diperparah  lagi  dengan aktifitas Pertambang Tanpa Izin (PETI) di sepanjang daerah aliran sungai DAS Batanghari, dimana aktifitas PETI ini tidaklagi merupakan tambang tradisional dengan alat sederhana tapi sudah menggunakan alat berat. "Hal ini tentu mempengaruhi daya dukung dan daya tampung DAS saat  hujan turun dengan intensitas tinggi," jelasnya.

 

Walhi Sumbar juga mengingatkan,  persoalan rusaknya lingkungan juga terjadi di Kabupaten kota lainnya di Sumatera Barat, faktor pemicunya tidak hanya tambang. Di Kabupaten Pasaman Barat keberadaan perkebunan monokultur kelapa sawit juga mempengaruhi kondisi lingkungan dan meningkatnya aliran permukaan sehingga menimbulkan bencana banjir. Di Kabupaten 50 Kota khususnya Kecamatan Pangkalan, banjir sangat dipengaruhi oleh keberadaan Dam Koto Panjang.  "Catatan WALHI Sumatera Barat, banjir besar pertama kali terjadi di Pangkalan Koto Baru pada 6 Januari 1998 dan 2 Februari 1998, dimana ketinggian banjir lebih dari 3 meter atau sampai ke loteng rumah warga dan memutus jalan Payakumbuh Pekanbaru Riau," kat Uslaini.

Kedepan, Walhi Sumbar memprediksi  ancaman bencana serupa akan semakin tinggi di Sumatera Barat. Hal ini terlihat dari banyaknya izin eksplorasi yang ada dan berpotensi merusak lingkungan skala luas. Di Kabupaten Solok Selatan saja saat ini terdapat 19 IUP dengan status ekplorasi dengan luas izin usaha 58.356 Ha. Di Sumatera Barat terdapat 74 IUP Eksplorasi. "Jika saja  Gubernur  Sumbar terpilih nanti memberikan izin operasi produksi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, maka niscaya kejadian bencana akan menjadi menu pokok masyarakat Sumbar di masa depan," pungkasnya.  (h/dn)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment